Konsekuensi yang harus dilaksanakan oleh pemerintah Jepang setelah kekalahannya pada Perang Dunia II kepada bangsa Indonesia adalah membayar Pampasan perang. Salah satu dari cara atau bentuk pembayaran pampasan itu, adalah sejak akhir 1959 pemerintah Jepang menerima mahasiswa Indonesia dan juga pemudanya belajar dan training di negeri tersebut.
Maka, sejak itu secara bergelombang dari tahun ke tahun sampai tahun 1965, ratusan mahasiswa dan pemuda Indonesia mendapat kesempatan untuk belajar di Jepang. Dari jumlah tersebut tidak sedikit pula di antara mereka yang memanfaatkan waktu-waktu senggang dan liburnya untuk belajar dan memperdalam seni bela diri yang ada di Jepang.
Dari mereka ini pula, akhirnya sekembalinya ke tanah air tidak saja menggondol ijazah menurut bidang study mereka, juga memperoleh tambahan, berupa penguasaan atas seni bela diri yang ada di Jepang, seperti: Karate, Judo, Ju Jit Su dan juga kempo.
Pada tahun 1962, dalam suatu acara kesenian yang dipertunjukan mahasiswa Indonesia menyambut kunjungan tamu-tamu penting dari tanah airnya, seorang pemuda Indonesia bernama Utin Syahraz mendemonstrasikan kebolehannya bermain Kempo. Utin Syahraz tiba di Tokyo sekitar tahun 1960 sebagai Trainee Pampasan. Sebelumnya, ia adalah pegawai pada Departemen Pekerjaan Umum di Jakarta. Apa yang didemonstrasikan itu, akhirnya menarik minat pemuda dan mahasiswa Indonesia lainnya. Mereka antara lain, Indra Kartasasmita dan Ginandjar Kartasasmita serta beberapa lainnya yang datang kemudian ke Jepang. Dalam waktu-waktu luang dan libur, mereka memanfaatkan waktunya untuk datang langsung ke Pusat Shorinji Kempo di kota Tadotsu untuk menimba langsung seni bela diri tersebut dari Sihangnya.
Pada tahun 1962, dalam suatu acara kesenian yang dipertunjukan mahasiswa Indonesia menyambut kunjungan tamu-tamu penting dari tanah airnya, seorang pemuda Indonesia bernama Utin Syahraz mendemonstrasikan kebolehannya bermain Kempo. Utin Syahraz tiba di Tokyo sekitar tahun 1960 sebagai Trainee Pampasan. Sebelumnya, ia adalah pegawai pada Departemen Pekerjaan Umum di Jakarta. Apa yang didemonstrasikan itu, akhirnya menarik minat pemuda dan mahasiswa Indonesia lainnya. Mereka antara lain, Indra Kartasasmita dan Ginandjar Kartasasmita serta beberapa lainnya yang datang kemudian ke Jepang. Dalam waktu-waktu luang dan libur, mereka memanfaatkan waktunya untuk datang langsung ke Pusat Shorinji Kempo di kota Tadotsu untuk menimba langsung seni bela diri tersebut dari Sihangnya.
Pemuda-pemuda tersebut sadar, tidak ada lagi kebanggaan mereka, selain memberikan apa yang terbaik mereka terima di Jepang kepada pemuda-pemuda bangsanya sendiri sekembalinya ke tanah air. Hal tersebut tidak lain, untuk kejayaan bangsa dan negara mereka, agar tidak ketinggalan dengan bangsa-bangsa lain, tidak saja dalam ilmu pengetahuan, juga dalam olahraga.
Untuk meneruskan warisan seni bela diri Shorinji Kempo, seperti apa yang mereka peroleh di Jepang kepada rekan-rekan senegaranya, ketiga pemuda, yakni Utin Syahraz, Indra Kartasasnita dan Ginandjar Kartasasmita bertekad melahirkan dan membentuk suatu wadah yang bernama PERKEMI (Persaudaraan Beladiri Kempo Indonesia). Wadah ini secara resmi dibentuk pada tanggal 2 Februari 1966.
Dari hanya beberapa murid dan berlatih di teras rumah waktu itu, kini PERKEMI telah melahirkan ribuan Kenshi-kenshi yang tersebar di seluruh tanah air. Selain merupakan salah satu anggota Top Organisasi yang bernaung dalam wadah KONI (Komite Olahraga Nasional Indonesia). PERKEMI juga menjadi anggota penuh dari Federasi Kempo se-Dunia atau WSKO (World Shorinji Kempo Organization) yang berpusat di Kuil Shorinji Kempo di kota Tadotsu, Jepang.
Dari hanya beberapa murid dan berlatih di teras rumah waktu itu, kini PERKEMI telah melahirkan ribuan Kenshi-kenshi yang tersebar di seluruh tanah air. Selain merupakan salah satu anggota Top Organisasi yang bernaung dalam wadah KONI (Komite Olahraga Nasional Indonesia). PERKEMI juga menjadi anggota penuh dari Federasi Kempo se-Dunia atau WSKO (World Shorinji Kempo Organization) yang berpusat di Kuil Shorinji Kempo di kota Tadotsu, Jepang.